Tradisi dan Kultur Minangkabau yang Tergerus



Resensi: Ronidin



SAYA membaca novel Limpapeh karya AR Rizal ini di penghujung musim semi yang mulai hangat di Kota Seoul, Korea Selatan. Terus terang, novel ini mengaduk-aduk perasaan saya. Pikiran saya membuncah. Saya jadi rindu kampung halaman; ranah Minangkabau. Di mata saya menari-nari semua anggota keluarga, utamanya Mande yang dalam novel ini diplot menjadi tokoh pusat.
            Novel Limpapeh ditulis AR Rizal, alumni jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas yang kini menjadi redaktur di Harian Singgalang. Langkah Rizal menulis novel menambah deretan wartawan di harian ini yang menulis novel setelah sebelumnya Khairul Jasmi menulis Lonceng Cinta di Sekolah Guru.
            Novel ini bercerita tentang sengkarut kehidupan Mandeh (Piah) di rumah gadangnya. Ada adik laki-laki Mandeh dengan berbagai profesi dan tingkat pendidikannya yang selalu merong-rong ketenangan kehidupan Mandeh. Ada keserakahan yang direpresentasikan melalui tokoh Tunuih yang digambarkan “serakah tanah” walaupun umurnya sudah bau tanah itu. Ada saudara-saudara perempuan Mandeh yang kehilangan eksistensinya. Ijah gila akibat diguna-gunai kaum kerabatnya. Ia  hanya sembuh menjelang akhir hayatnya. Begitu pula Lena, sesuai namanya menjadi “terlena” dan “dijauhkan”  orang dari rumah gadangnya. Anak-anak Mandeh hasil pernikahannya dengan Pian semuanya laki-laki sehingga Mandeh kehilangan penerus di rumah gadangnya. Hanya ada Nina yang merupakan anak pungut Mandeh. Nina pun pergi meninggalkan rumah gadang setelah menikah mengikuti Fakhri suaminya.
            Novel ini diakhiri dengan tragis. Mandeh akhirnya meninggal menyusul Uwak, ibunya. Kepergian Mandeh membawa segala parasaian-nya. Mandeh dikuburkan berdampingan dengan kubur Uwak di tanah kaumnya. Kepergian Mandeh selain memutus mata rantai keluarganya, juga membuat rumah gadang kebanggan Mandeh dan kaumnya tidak ada lagi yang mengurus. Saudara laki-laki Mandeh—akibat asuang fitanah—hanya sibuk bertengkar memperebutkan tanah kaumnya yang potensial untuk dikuasai maupun dilipat menjadi uang. Kepergian Mandeh berakibat fatal bagi eksistensi rumah gadangnya. Mandeh berpulang, rumah gadangnya pun akhirnya roboh.
             Novel ini berjudul Limpapeh. Setelah saya telusuri, kata limpapeh tidak ada dalam Kamus Bahasa Indonesia. Jadi, menurut saya limpapeh tidak dapat diartikan rama-rama atau kupu-kupu dalam bahasa Indonesia. Kata ini mengandung makna yang filosofis bagi orang Minangkabau. Kata limpapeh di Minangkabau biasanya bersandingan dengan kata rumah gadang. Kata limpapeh sendiri bermakna tiang penyangga, sedangkan rumah gadang adalah simbol keluarga Minangkabau. Kalau begitu, limpapeh rumah gadang dapat dimaknai sebagai  penyangga kehidupan berkeluarga, kehidupan berkaum, dan kehidupan berkorong-berkampung.
Ketika Si Limpapeh ini tidak lagi berperan alias telah “mati”, maka kehancuran akan segera datang.  Nah, inilah yang mengemuka dalam novel Limpapeh. Inilah goresan pena menarik AR Rizal sebagai penulis muda penerus para penulis senior yang telah berpulang seperti Wisran Hadi maupun A.A. Navis.  Jarang ada anak muda yang piawai menulis dengan tema-tema sub-kultur seperti dalam novel Limpapeh ini. Pilihan untuk menulis tema ini tentu memerlukan proses pembacaan, pengamatan, dan interaksi yang panjang terhadap berbagai khasanah yang melingkupi masalah ini.
Sebagai tokoh pusat, tokoh Mandeh memiliki berbagai relasi dengan tokoh-tokoh lainnya dalam membangun keutuhan cerita. Relasi-relasi itulah yang kemudian saling berkelindan membangun peristiwa yang tersaji dalam novel ini. Pada esensinya, melalui tokoh pusat alias tokoh Mandeh tersebut, pengarang ingin menyampaikan pesan tentang eksistensi perempuan di rumah gadang. Jika diperluas dalam lingkup yang lebih lebar, pengarang ingin menyampaikan peran dan eksistensi yang dapat dimainkan oleh bundo kanduang atau limpapeh rumah nan gadang di ranah Minang.
Secara harfiah kata bundo kanduang terbentuk dari dua kata yaitu bundo dan kanduang. Bundo berarti ibu. Bisa ibu biologis maupun ibu sosial, sedangkan kanduang bermakna sejati. Dengan demikian,  bundo kanduang dapat dipahami sebagai ibu sejati. Istilah bundo kanduang ini merupakan julukan kehormatan yang diberikan kepada perempuan yang menurut garisan stelsel matrilinear merupakan pemimpin keluarga dalam masyarakat Minangkabau. Bundo kanduang memersonifikasikan sosok perempuan bijaksana yang membuat keberlangsungan adat Minangkabau lestari sepanjang masa.
Relasi dan peran Mandeh sebagai tokoh pusat  yang digambarkan novel ini bertolak dari ungkapan: Limpapeh rumah nan gadang, suluah bendang dalam nagari, litak tampek maminta makan, auih tampek maminta ayie. Mandeh menjadi sosok yang penting dalam keberlangsungan keluarga besarnya. Ia menjadi tempat mengadu bagi Saudara-saudara laki-lakinya. Tidak saja tentang masalah keluarga, tetapi juga masalah finansial. Memang benar, saudara perempuan adalah tempat saudara laki-laki meminta makan jika lapar dan meminta minum jika haus. Setiap ada masalah yang dihadapi oleh tokoh Sjam, Toboh, Buyus, Sutan Miang, Sonton, dan lain-lain selalu berujung kehadapan Mandeh. Mandeh akan mencarikan solusinya. Mandeh ditempatkan sebagai “hero” yang perannya tak tergantikan.
Menariknya lagi, sosok Mandeh ditempatkan sebagai sosok limpapeh rumah nan gadang di tengah-tengah kondisi masyarakat Minang masa kini yang sedang diinfiltasi berbagai produk budaya moderen baik secara internal maupun eksternal. Dalam kesehariannya, Mandeh berhadapan dengan berbagai persoalan hidup yang getir. Ada keangkuhan, ambisi, keserakahan, mistik, kehidupan keagamaan, masalah jodoh, dan sebagainya yang berpadu dalam berbagai rangkaian peristiwa/plot yang paradoks. Di sinilah dapat dilihat keseharian Mandeh berinteraksi dengan lingkungan sosialnya yang merepresentasikan apa yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau sesungguhnya.
Melalui relasi tokoh Mandeh dan tokoh-tokoh lain, disajikan berbagai fenomena keseharian masyarakat Minangkabau. Ada dikotomi antara kepentingan untuk mempertahankan apa yang ada dengan derasnya perubahan yang dibawa zaman. Mandeh berada dalam pusaran itu. Mandeh merupakan sosok yang berada pada kutub yang berusaha mempertahankan entitas dirinya dengan tetap menjaga rumah gadangnya. Sementara di sisi yang lain, dia berhadapan dengan fenomena sosial di mana anak perempuan yang telah menikah tidak lagi tinggal di rumah gadangnya, tetapi telah dibuatkan rumah sendiri oleh suaminya.
Perempuan yang dibawa oleh suaminya, tentu kehilangan bilik di rumah gadangnya. Dia kehilangan hak tata kelola rumah gadang yang ditinggalkannya. Begitu pula dengan suaminya. Peran suami sebagai sumando berubah menjadi pengambil kebijakan, penentu arah rumah tangga mereka. Akibatnya, eksistensi perempuan sebagai limpapeh rumah nan gadang (tiang penyangga) tergadaikan. Celakanya, tidak hanya sampai di situ, para istri yang tinggal di rumah buatan suaminya yang bertipikal duniawi akan menjadi leluasa menghasut suaminya untuk menguasai harta pusaka keluarga suaminya seperti yang dialami oleh saudara laki-laki Mandeh. Laki-laki yang tidak berpendirian akan termakan dengan bujuk rayu itu dan akan “mencangkul” pusakonya sendiri seperti yang dilakukan Buyus, Toboh, dan Sutan Miang, saudara laki-laki Mandeh (p 175-176).
Demikianlah, novel Limpapeh ini menarik untuk dibaca. Apa yang saya kemukan di atas hanya pandangan sepintas tentang kandungan novel ini. Masih banyak hal menarik lainnya yang perlu diungkapkan dari novel kultural ini. AR Rizal berhasil menyampaikan pesan menarik tentang peran limpapeh rumah nan gadang di Minangkabau walaupun pada kenyataannya peran itu kian hari kian tergerus . Melalui Limpapeh, AR Rizal mendambakan sosok  perempuan Minangkabau yang kuat, ulet, bijaksana, serta mampu menjaga dan melestarikan kebesaran sako sangsako dan eksistensi kaumnya. Selamat untuk AR Rizal. Salam dari jauh.

         Ronidin , Dosen Tamu di Hankuk University of Foreign Studies, 

         Korea Selatan

Komentar

Postingan Populer