Tafsir Perempuan Minang
Judul Buku : Limpapeh
Penulis : A.R Rizal
Penerbit : Rumah Kayu Pustaka Utama
Tahun Terbit : Januari 2016
Tebal : iv + 208 halaman
ISBN : 978 602 73775 2 3
LIMPAPEH
merupakan tafsiran wanita Minangkabau yang
mendiami rumah gadang, seperti kata adatnya limpapeh
rumah nan gadang/sumarak anjuang dalam nagari. Maksudnya adalah wanita minang yang mendiami
rumah gadang adalah wanita yang dihormati/ditinggikan (anjuang adalah bagian
yang ditinggikan pada rumah gadang) dalam desanya. Karena dalam sistem
matrilineal wanita/kaum ibu lah yang mewariskan suku kepada keturunannya kelak.
Seperti
yang dikisahkan pada novel Limpapeh
karya A.R Rizal ini. Novel bertebal 200 halaman lebih ini mengangkat tema lokalitas.
Sebuah tema yang cukup unik dan menarik untuk kekinian. Sebab sudah jarang
ditemukan novel-novel sastra yang berbau lokalitas untuk masa sekarang ini. A.R
Rizal mampu mengisi kekosongan tema lokalitas yang dimaksud.
Limpapeh
menceritakan seorang perempuan minangkabau bernama Mandeh Piah. Mande lah yang
mendiami rumah gadang di kaumnya. Mandeh sendiri memiliki tiga orang saudara
laki-laki dan dua saudara perempuan. Yang sulung bernama Sjam. Yang kedua
dipanggilnya Sutan Miang. Kemudian ada Buyus
dan Toboh. Ia punya dua saudara
perempuan. Satu orang sudah lama meninggal. Bernama Ijah. Satu lagi, Lena,
menikah dengan orang asing. Berpuluh tahun, mandeh tak pernah mendengar kabar
saudara perempuannya itu. Entah masih hidup, atau sudah berkalang tanah. Sejak
kematian ibunya, Mandelah yang menjadi penghuni di rumah gadang. Di rumah itu,
ia yang menjadi alasan kedatangan saudara laki-lakinya (hal 8).
Mande
Piah memiliki dua orang anak laki-laki, Ikbal dan Idrus serta satu orang anak
perempuan, Nina. Nina berusaha mengajak Mande untuk meninggalkan rumah gadang
dan tinggal bersamanya. Tetapi, Mande menolaknya. sebab menurut Mande, takdir
perempuan Minangkabau itu adalah mendiami rumah gadang yang disebut limpapeh. baik atau buruk, permpuan akan selalu
menjadi tempat datang bagi saudara laki-lakinya. Apakah kamu marah dengan
takdir itu? Jangan! Takdir itulah yang membuat perempuan terhormat di negeri
ini (hal. 42)
Banyak
persoalan kampung yang menjadi konflik dalam novel ini. Persoalan tanah kaum,
penyerobotan tanah kaum, fungsi dan peranan mamak serta kedudukan mamak di
kampung dijadikan titik sentral yang kemudian menjadi persoalan budaya yang
sudah mengakar di nagari bernama minangkabau ini.
Seperti
misalnya fungsi mamak. Seharusnya
seorang mamak ikut serta menjaga dan melestarikan keberlangsungan rumah gadang.
Tetapi, di novel ini diceritakan kalau Sutan
Miang dan Buyus yang merupakan Mamak Nina ingin sekali menjual harta kaumnya. Mereka
merasa berhak. Mandeh akhirnya menjadi sasaran dari kedua saudara laki-lakinya
tersebut. Untung saja dia memiliki
saudara sulung yang mapan dan disegani. Sehingga dia selamat dari kerakusan dua
saudara laki-lakinya tersebut. Juga dari
rasa hasad dan dengki dari Ipar-iparnya Tini, dan Sonah, (hal.81 dan 172)
Tanah
kaum yang sepatutnya dijaga dan dilestarikan justru perlahan-lahan dihabiskan
oleh keturunannya sendiri. Padahal, keberadan rumah gadang teramatlah penting.
Sebab disitulah saudara laki-laki di mingkabau ini akan pulang. Dan takdir perempuan minangkabaulah yang akan
menjaga rumah gadang tersebut.
Buku
ini amatlah layak untuk dimiliki sebab banyak mengandung unsur-unsur lokalitas
yang mesti digali lagi. Sayangnya, penulis terlalu sedikut mengelola konflik
budaya di dalamnya. Diakhir novel justru menjadi tanda tanya besar bagi
pembaca. Kenapa rumah gadang itu dibiarkan saja lapuk dimakan rayap. Bukankah
Mande memiliki Nina. Apakah Nina tidak bersedia meneruskan wasiat uwak dan mande
untuk menjadi limpapeh di rumah gadang. Inilah persoalan besar yang menjadi pr
di nagari Minangkabau ini. Sebab sangat sedikit sekali anak perempuan di negeri
ini untuk mau meneruskan takdirnya sebagai perempuan minangkabau. Sebagai
limpapeh. Yang akan menyambut saudara laki-lakinya pulang. Entahlah! Perensensi:
Firman Robbani
Komentar
Posting Komentar